Patterned Text Generator at TextSpace.net

Rabu, 14 Maret 2012

Tugas 1 (masalah hukum di indonesia)


Tugas 1
1.      Bagaimanakah masalah  penegakan hokum diindonesia?
Jawab :
       Menurut pendapat saya,setelah saya mencari di berbagai nara sumber,masalah penegakan hukum di Indonesia adalah seperti dibawah ini :
Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terrealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan (utopia). Itulah kira-kira sesuatu yang pas untuk mendiskripsikan kondisi hukum di Indonesia saat ini, dan menurut saya mungkin keadilan hanya ada pada orang-orang yang mempunyai banya money. hmmmm.. Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.
Lalu pertanyaanya, faktor apa yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia? disini ada beberapa faktor yang menyebabkan sukitnya penegakan hukum di Indonesia.Pertama, lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan.Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat. Ketiga, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum. Keempat, minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum. Kelima, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum. Keenam, paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice). Ketujuh, kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal system yaitu, struktur (structure), substansi (subtance) dan kultur hukum (legal culture). Dalam konteks Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan. Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum. Memang benar apa yang dikemukan oleh Max Weber (1864-1920) bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang sangat birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon terhadap realitas sosial masyarakat sehingga dapat melayani masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) dengan baik. Dalam hal substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Ketiga, Untuk budaya hukum (legal culture) perlu dikembangkan prilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas (top down). Artinya, apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum maka akan menjadi teladan bagi rakyat.
Akhirnya, kita berharap agar ditahun 2007 ini pemerintah dapat secepatnya menyelesaikan agenda reformasi hukum yang selama ini tidak berjalan dengan baik. Jika tidak, bersiap-siaplah akan segera tercipta suatu masyarakat seperti yang pernah dilukiskan oleh seorang filosof besar Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) yaitu masyarakat homo homini lupus belum omnium contra omnes.


a.      Conflict of Interest Penegakan Hukum di Indonesia

Ø  Campur Tangan Politik
Di samping adanya faktor-faktor kriminogen terkait dengan terjadinya infiltrasi antara hukum dan politik belakangan ini, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran dan karakteristik kepemimpinan. Hal yang lumrah untuk dilontarkan karena kasus-kasus besar dan berdimensi struktural saat ini setidaknya melibatkan partai politik penguasa negara ini. ICW mencatat ada 10 kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat.
Tidak terimplementasikannya penegakan hukum secara independen, tentu tidak hanya karena masalah sikap aparatur (attitudinal problem) namun juga karena intervensi politik, yang keduanya bersinergi secara simultan. Ketua KPK pun mengakui proses pemberantasan korupsi terhambat oleh politik (Republika, Rabu, 27 Juli 2001). Beberapa kasus extra ordinary crime yang mampir di KPK mayoritas dipengaruhi oleh konfigurasi politik, misalnya ditelantarkannya kasus Bank Century yang sampai saat ini tidak mendapatkan kepastian hukum dan hanya mentah di DPR. Dalam hal tersebut jelas dan tentu dimenangkan oleh partai-partai yang berkepentingan dengan keberadaan eksekutif saat ini. Dalam kasus Bank Century berpotensi menyeret para pemilik kursi eksekutif, seperti mundurnya Sri Mulyani dari Menteri Keuangan lantaran terseret dalam kasus ini.
Adapun kasus lain yang kini tengah mendapat sorotan publik yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin, yakni terkait dugaan korupsi dalam program pembangunan wisma atlet SEA Games dan tenaga kependidikan, Kemendiknas. Dalam kasus ini konon kader Partai Demokrat tersebut telah menyumbang Rp 13 miliar ke Partai Demokrat, dan dalam pengakuannya Nazaruddin diperintahkan untuk lari ke luar negeri oleh pimpinan umum Partai Demokrat agar tidak terjamah oleh hukum. Meskipun belum bisa dipastikan semua, pengakuan Nazaruddin di beberapa media massa adalah benar, patut untuk diduga bahwa telah terjadi campur tangan politik dalam aktivitas penegakan hukum di Indonesia. Dan masih ada beberapa kasus yang kemungkinan melibatkan beberapa kader partai politik termasuk Andi Nurpati dari Demokrat dalam kasus mafia pemilu, Agusrin Najamudin, Gubernur Lampung yang dalam kasusnya divonis bebas oleh hakim Syarifudin Umar. Nunun Nurbaetie tersangka suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI yang hingga saat ini masih melancong ke luar negeri.
Ø  Kedewasaan Berpolitik
Alih-alih menyikapi perilaku para kader partai yang diduga terlibat dalam  beberapa kasus korupsi secara proaktif, beberapa elit politik justru memberikan jaminan bantuan hukum bagi para kadernya yang sudah diproses secara hukum. Dalam kasus Nazaruddin sempat dilontarkan bahwa partai akan memberikan bantuan hukum dengan dalil presumsion of innoncent.
Sikap proaktif tidak ditampilkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang dalam kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI yang melibatkan kadernya, Nunun Nurbaetie. Partai justru mengatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk membantu aparat penegak hukum dalam menuntaskan kasus hukum. Unsur dimensi struktural dalam praktik penegakan hukum yang telah terkontaminasi oleh anasir-anasir politik memberikan konsekuensi logis yakni tidak tampaknya due proses of law.
Berbagai sikap yang dimunculkan oleh partai politik dalam beberapa kasus hukum yang menjerat para kadernya menunjukkan kepada publik betapa ketidakdewasaan para elit dalam berpolitik di negara hukum ini. Sikap saling sandera serta cenderung mengadvokasi para kader termasuk ketidakmauan untuk memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terkait dengan beberapa kasus korupsi yang sedang berlangsung saat ini. Sikap kooperatif dan transparansi dalam penegakan hukum dianaktirikan, sedangkan kehormatan serta citra partai politik diutamakan agar tetap eksis di hadapan masyarakat. Stainlay Demon (2002) mengatakan bahwa terpuruknya penegakan hukum di negara berkembang sangat berkaitan dengan kultur dan kondisi politik suatu masyarakat. Di negara kita kultur dan kondisi politik masih sangat pragmatis, sedang law inforcement terkontaminasi situasi politik tersebut.
Dalam perspektif legal formal sebenarnya sikap menyembunyikan orang yang sedang dituntut atau membantu orang untuk melepaskan diri dari penuntutan ataupun dengan mempersulit penuntutan terhadap orang yang bersangkutan atau dengan sengaja telah merusak, menghilangkan, atau menyembunyikan barang- barang bukti sebagaimana diatur dalam pasal 221 KUHP yakni sebagai begunstingings delict.
Keadaan hukum justru diputarbalikkan dengan strategi politik, yang pada gilirannya menyerang lembaga penegak hukum inklusif seperti KPK. Di awal munculnya kasus korupsi yang melibatkan Nazaruddin beberapa koleganya justru menuding KPK tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum. Lembaga penegak hukum pun semakin dipecundangi dengan sikap Nazaruddin yang menuding KPK telah melakukan konspirasi dengan pimpinan Partai Demokrat.
Lagi, sikap ketidakdewaan berpolitik ditunjukkan oleh kader Demokrat yang sekaligus tengah menjabat sebagai Ketua DPR dengan memberikan statemen pembubaran KPK dengan alasan tidak adanya pemimpin KPK yang kredibel. Selain itu menganjurkan adanya pemaafan secara nasional kepada para koruptor untuk pulang tanpa diproses hukum. Sikap tidak rasional dalam perpolitikan akhir-akhir ini tentu diproyeksikan untuk melemahkan penegakan hukum di Indonesia.
Konflik kepentingan yang terjadi akhir-akhir ini telah merefleksikan pergerakan hukum yang sangat lamban. Komitmen politik yang lemah serta penegakan hukum yang tidak independen menjadi sebuah kondisi negara yang problematis. Gerak-gerik yang muncul dari pintu politik dan masuk ke pintu hukum inilah yang menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia selanjutnya.
Beberapa kasus hukum yang muncul belakangan merupakan gerakan yang inpersonal, kejahatan yang berdimensi struktural dengan melibatkan organisasi partai politik dan jabatan. Apabila realita ini terus menggerus ke ranah hukum maka niscaya Indonesia tidak lagi diamini sebagai negara hukum. Penegakan hukum yang independen dan inparsial merupakan conditio sine quanon dalam konteks negara hukum modern.
Kesimpulan dari semua pernyataan diatas,menurut pendapat saya,penegakkan hukum di Indonesia itu ternyata masih lemah bahkan sangat lemah. walaupun banyak pendapat dari para Ilmuwan untuk memotivasinya, Hukum di Indonesia tetap tidak sesuai dengan prosedur-prosedurnya. Terkadang juga masih tidak ada keadilan, masih ada intervensi dari para penguasa pemerintahan maupun politik. Misalnya, jika pihak kepolisian,kejaksaan, dan lembaga hukum lainnya masih dibawah presiden dan tidak independen,maka akan selalu ada intervensi didalamnya
cukup sekian dari sayaa,,, Terimakasiihhh... :)


Dwi Intan Ratnasari
22210190
2eb01




Tidak ada komentar:

Posting Komentar